Oleh Yongky Gigih Prasisko
Game of Thrones berseting masa kerajaan, diliputi dengan perang dan perebutan kekuasaan. Tujuh kerajaan fiktif yang dihadirkan antara lain Kingdom of The North, Kingdom of The Vale & Sky, Kingdom of Isles & Rivers, Kingdom of The Rock, Kingdom of The Reach, Kingdom of The Stromlands, Dorne. Ceritanya banyak didominasi polemik politik dalam/antarkerajaan. Yang cukup menarik dan menjadi sorotan, bagi saya, dibanding film-film yang sedikit saya tonton, adalah Game of Thrones banyak mengeksplor thanatos manusia seperti kekejaman, seksualitas, dendam, kebencian, kemurkaan, kesakitan, keserakahan bahkan sifat kebinatangan dalam diri manusia. Dalam kebudayaan Yunani, naluri manusia tersebut terwujud dalam dewa yang bernama Dionysian.
Dalam kebudayaan Yunani, dikenal dua dewa Apolo dan Dionysos, yang merupakan gairah dalam seni, khususnya cerita tragedi Yunani. Nietzsche sempat menulis tentang tragedi yunani dalam bukunya The Birth of Tragedi (buku ini dipreteli habis-habisan oleh seorang filolog Wilamowitz yang menganggapnya kurang ilmiah dan menyesatkan secara filologis. Buku itu lebih berbau filosofis daripada filologis, dan kita melihat Nietzsche dalam kapasitasnya sebagai filsuf). Apolo dan Dinonysos memiliki karakteristik yang saling bertentangan. Apolo merupakan dewa yang penuh keindahan, kenikmatan, adikodrati serta keagungan, sedangkan Dionysos adalah dewa mabuk, liar, tak teratur, merusak dan gila. Ia juga disebut sebagai dewa anggur dan pesta pora. Tragedi Yunani merupakan peleburan jiwa Dionysian dan Apolonian, namun yang lebih dominan adalah Dionysian yang membuat tragedi Yunani bergairah serta mampu melampiaskan hasrat secara dinamis. Tragedi Oceranides, misalnya, benar-benar mampu menghadirkan Promotheus melalui penghayatan seluruh Koor. Musik dan Koor merupakan naluri Dionysos.
Tragedi Yunani berbeda dengan drama Yunani. Tragedi Yunani tidak hanya menyughkan penampilan yang menghibur, tetapi ia merupakan kehidupan itu sendiri. Sedangkan drama Yunani, seperti karya Euripides yang mendapatkan pengaruh moralitas dari Socrates, banyak mengkastrasi thanatos manusia dan menyuguhkan hal-hal baik, demi memberikan pendidkan tentang manusia bermoral. Masa semenjak Socrates dan para penerusnya merupakan era matinya tragedi Yunani, karena pengaruh logos dan moral yang ketat dalam berkesenian.
Cerita tragedi Yunani merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, artinya ia menerima kehidupan manusia seluruhnya tanpa mengurangi hal yang buruk, atau hanya menonjolkan hal yang baik. Tragedi Yunani tidak mengenal benar dan salah, atau kebenaran patut menang serta keburukan harus kalah. Benar dan salah tidak dapat dikenali, subjek dan objek pun tak dapat ditentukan, siapa yang menang dan kalah juga tak mampu diidentifikasi. Itulah kehidupan yang sebenarnya. Semua tokoh hadir dalam kompleksitas kehidupannya. Ini berbeda dengan cerita-cerita pada umumnya, seperti narasi superhero yang mampu diidentifikasi siapa yang benar dan salah, menang dan kalah.
Tragedi Yunani menawakan pembebasan, tidak bersifat ilusi dan khayal, namun pembebasan individu yang nyata melalui persentuhan dengan perasaan yang kompleks. Hal ini terwujud dalam tokoh “satyr” yang mengalami penderitaan yang justru malah membebaskan dirinya dalam sentuhan rasa. Berbeda dengan moralitas yang memberikan pembebasan ilusif, membuai, memberikan ketenangan, kelembutan agar manusia terbius dengan realitas yang dihadapinya. Hal ini terwujud dalam tokoh “Sheperd (gembala)” yang melalui serulingnya berusaha memberikan harmoni untuk menidurkan manusia dalam kenyataan.
Cerita Game of Thrones mengandung peleburan antara naluri Dionysian dan Apolonian. Ia menggambarkan kehidupan yang sebenarnya tanpa menutupi keburukan sifat manusia, atau hanya menonjolkan sisi baik dalam moralitas. Seluruh kompleksitas kehidupan manusia disuguhkan semuanya sehingga sulit diidentifikasi siapa yang salah dan benar, menang dan kalah. Contohnya adalah seorang Jaime Lannister seorang Kingslayer yang memenggal kepala Raja, Aerys II Targaryen. Pada saat itu jika ia tidak memenggal kepala raja, maka sang raja, melalui prajuritnya, akan mampu membunuh dan membakar semua orang, pada saat terjadi pemberontakan. Jika Aerys II Targaryen tidak memerintahkan membunuh dan membakar maka ia akan mati konyol sebagai seorang raja yang kalah. Semua tindakan tokoh mempunyai pembenarannya masing-masing, mereka juga mengalami penderitaan dan kesenangan yang kompleks. Hal ini juga terwujud dalam circuit of revenge, setiap dendam yang dibalas akan membawa dendam lain yang juga patut dibalas, tidak ketemu siapa yang benar dan salah.
Kesenian dengan naluri tragedi Yunani merupakan penghargaan atas kehidupan yang sebenarnya: spontan, naluriah, kreatif dan penuh gairah. Sejak Socrates, tragedi Yunani mati, ia telah mengubah kebudayaan Yunani yang estetis menjadi kebudayaan Helenis yang menjemukan. Socrates telah mematikan spontanitas seni dan kehidupan bangsa Yunani dan diubah menjadi sikap hidup yang mengikuti moral baik dan buruk yang notabene mengkastrasi otentisitas subjek, dan menekan kreativitas individu. Dengan moralitas manusia dibentuk supaya menjadi seragam. Manusia tidak menjadi individu melainkan hanya kawanan belaka. Sedangkan estetika mendorong manusia untuk berani berselera menerima kompleksitas kehidupan, tidak seperti manusia moralitas yang menerima apa yang baik dan menolak dan menghindari yang buruk. Hidup estetis menerima semua realitas, memeluk kedukaan, mengalami penderitaan, menguatkan rasa, membina kehidupan, mencapai pembebasan dan mengatakan “ya” pada hidup yang absurd ini. Estetika mengajarkan manusia untuk berani menghadapi kehidupan. Game of Thrones telah mnyajikan kekuatan perasaan penderitaan, kekejaman, kemunafikan, pengkhianatan yang merupakan bagian dari kompleksitas kehidupan yang harus diterima manusia, bukan untuk membuat manusia semakin takut, tetapi untuk membuatnya lebih kuat dan berani dalam menghadapi kehidupan.
Sebuah pertanyaan besar lalu muncul…
Mengapa tragedi Yunani yang dulu sempat mati, bangkit kembali di Amerika?
0 komentar:
Posting Komentar