LPRIS

  • Pekarangan
  • Profil
    • Latar
    • Visi dan Misi
    • Program Kerja
  • Seri Kuliah Sosial dan Budaya
    • Kuliah Budaya
    • Kuliah Sosial
    • Diskusi
  • Ebook
    • Buku Sosial
    • Buku Politik
    • Buku Teori
    • Buku Sastra dan Budaya
  • Ragam Tulisan
    • Berita
    • Esai
    • Cerpen
    • Puisi
  • Hasil Penelitian LPRIS

Minggu, 18 Oktober 2015

Invasi Kebudayaan : Dibalik Persaudaraan Jepang-Indonesia

 Elpris     17.58     Esai     No comments   



Korea Selatan, setelah mengalami kemunduran ekonomi yang cukup signifikan pada tahun 1998, pemerintah mengkreasikan sebuah strategi soft power untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi, yang kemudian disebut dengan istilah Hallyu. Ia merupakan strategi dimana produk-produk kultural Korea Selatan diekspor secara masif untuk membangun sendi-sendi ekonomi baru, juga untuk membangun citra negara. Media merupakan ‘senjata’ penyebar yang digunakan untuk menjalankan strategi tersebut, karena sifatnya yang global dan mampu menyebar secara cepat. Dengan demikian produk kultural Korea yang berupa film, drama dan musik mulai dikenal secara luas terutama di Asia, Fenomena ini kemudian disebut dengan gelombang Korea atau Korean Wave. Sebagai soft power, ia digunakan untuk mendongkrak popularitas dan citra Korea Selatan, yang juga menyisipkan kepentingan ekonomi untuk menjual produk-produk industri lain.
Strategi export industri budaya ini juga dilakukan oleh Jepang. Meskipun tidak semasif Korea saat ini, namun Jepang sudah lebih dulu memiliki tradisi penyebaran kebudayaan yang sudah banyak dikenal di kawasan Negara Asia bahkan dunia. Produk industri budaya tersebut antara lain berupa komik anime, film-film kartun maupun superhero. Nama-nama kreator komik Jepang yang paling terkenal antara lain, Akira Toriyama (Dragon Ball), Eichiro Oda (One Piece) dan Masashi Kishimoto (Naruto).
Jepang dan Korea memiliki latar belakang berbeda perihal invasi industri budayanya. Jika Korsel berlatar pemulihan krisis ekonomi, maka motivasi Jepang bisa dirunut dari diskursus historis yang dilancarkannya semenjak perang dunia II. Jepang dahulu punya ambisi mengobarkan perang Asia Timur dengan membebaskan seluruh bangsa Asia dari penjajahan Barat. Jepang juga berambisi mempersatukan Asia dalam lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya di bawah kepemimpinannya. Diskursus inilah yang menjustifikasi praktik penjajahan terhadap Indonesia dengan dalih mengusir penjajah Barat, yakni Belanda. Wacana yang bersiar di tanah jajahan Indonesia antara lain propaganda 3 A, Nipon pemimpin, pelindung dan cahaya Asia. Melaluinya secara kultural, Jepang berperan sebagai saudara tua (older brother) bagi Indonesia, dan bangsa Asia pada umumnya. Seiring berkembangnya zaman, penyebaran diskursus yang awalnya dilakukan melalui penjajahan, sekarang dilakukan melalui berbagai macam produk (industri) budaya Jepang.
Dalam hal industri budaya, Jepang mulai mengepakkan sayapnya ke Negara-negara Asia. Ia mengorientasikan perkembangan kebudayanya ke luar negeri untuk disebarkan sebagai produk konsumsi. Fenomena ini bisa ditunjukkan melalui idol grup AKB48 yang diperlakukan layaknya perusahaan Franchise yang memiliki cabang-cabang berlisensi lintas Negara. Cabang itu kemudian disebut dengan sister grup dari AKB48, antara lain SKE48 (Nagoya), NMB48 (Osaka), HKT48 (Hakata), SNH48 (Shanghai), TPE48 (Taiwan) dan JKT48 (Jakarta). Semuanya tergabung dalam keluarga 48 (48 Family) dengan saudara tua AKB48. Pada 20 Februari 2015 lalu, AKB48 dan JKT48 mengadakan konser kolaborasi di Jakarta bertajuk “Bergandengan Tangan dengan Kakak”. Dalam hal ini, idol grup Indonesia diposisikan sebagai adik perempuan dari Jepang, artinya melalui produk kebudayaannya, Jepang hendak kembali mengkonstruksi dirinya menjadi saudara tua Asia.
Tak hanya di Jakarta sebagai pusat industri budaya di Indonesia, Jepang juga memiliki program sister city dengan menggandeng Yogyakarta sebagai adik perempuan. Sebagai wujud tali persaudaraan tersebut, pada tanggal 3-6 September 2015 di Grha Sabha UGM akan diadakan ‘Jogja Japan Week’. Event tersebut merupakan ruang kontestasi kebudayaan Jepang dan Indonesia. Dalam hal ini, kebudayaan Indonesia yang diwakili Yogyakarta mendapatkan kesempatan bertemu secara kultural dengan kakak perempuannya Jepang. Invasi kebudayaan (saya menyebutnya demikian karena ia dihadirkan dengan sengaja, dan sifatnya massif dan ofensif yang menimbulkan ruang kontestasi kultural antara pihak penerima dan pengirim) datang dengan memunculkan beberapa beberapa kemungkinan antara lain ia menjadi dominan, keduanya saling bernegosiasi, atau budaya kita menjadi oposisi. Jika ia dominan, maka konsekuensinya kita akan menjadi konsumen potensial yang akan menyerap banyak produk budaya Jepang. Kita juga bisa membuka diri dan bernegosiasi dengan budaya Jepang, namun masih tetap mempertahankan nilai-nilai luhur/ketimuran, contohnya kesopan-santunan adalah hal yang tidak bisa ditawar. Sedangkan kemungkinan oposisi adalah kita meresepsi budaya Jepang lalu timbul bentuk-bentuk perlawanan terhadapnya. Mungkin saja resistensinya bisa muncul dari kelompok anak muda yang kreatif membuat meme, seperti gambar Miyabi yang menggunakan kerudung mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri.
Adik perempuan tidak selalu patuh pada kakaknya, bahkan jika ia cengeng sekalipun, karena tangisannya bisa membuat orang tuanya lebih perhatian padanya daripada si kakak, sehingga dominasi menjadi milik sang adik. Namun dalam hal ini, sang kakak akan terus ofensif kepada adiknya karena ia tidak mau posisi kakak yang dirasa lebih tinggi dibalikkan begitu saja. Sang kakak akan terus mempertahankan posisinya dengan terus ofensif, karena pertahanan paling baik adalah dengan menyerang.

Begitulah setidaknya hubungan kultural antara Indonesia dengan Jepang.



  • Share This:  
  •  Facebook
  •  Twitter
  •  Google+
  •  Stumble
  •  Digg
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke Facebook
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

Label

  • Buku Politik
  • Buku Sosial
  • Cerpen
  • Diskusi
  • Esai
  • Puisi
  • Seri Kuliah Budaya
  • Seri Kuliah Sosial

Popular Posts

  • Jacques Lacan - Psikoanalisa
    Kuliah Umum : Jacques Lacan dalam Pascastrukturalisme, oleh St. Sunardi. Diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM. Didokumentasikan ...
  • Friedrich Nietzsche - Nihilisme
    Kuliah Umum – Friedrich Nietzsche oleh Romo Setyo Wibowo, tanggal 28-29 April 2015. Diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM. Didok...
  • Hasil Penelitian LPRIS = Blandongan : Perebutan Kuasa Budaya Masyarakat Jawa dan Madura.
    Blandongan : Perebutan Kuasa Budaya Masyarakat Jawa dan Madura, oleh Yongky Gigih Prasisko. Penerbit LPRIS, tahun 2015. CP Pemesanan b...
  • Program Kerja
    LPRIS memiliki program kerja yang dilakukan baik secara periodik maupun insidental, antara lain: Melakukan penelitian, kajian da...
  • Budi Irawanto - Teori Film
    Seri kuliah teori : Teori Film oleh Budi Irawanto. Selasa 31 Maret 2015. Diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Ma...
  • Sinopsis Film Bercermin
    Permata tak ingin menjadi dewasa. Semakin bertambah usianya, membuatnya semakin terasing dan terpenjara. Tetapi mau tidak mau, ia tak...
  • Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (Buku Pertama) – John Perkins
    Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (Buku Pertama) – John Perkins https://drive.google.com/file/d/0Byu9yVab99m1U1RjS2oyR2J1RWs/view?usp=sha...
  • Medea dan Siti : Potret Perempuan Real dan Palsu
                                                                                                                          Oleh Yongky ...
  • Visi dan Misi
    Visi       : Menjadi sebuah lembaga yang dipercaya masyarakat dalam mengusahakan toleransi     keberagaman dalam kesatuan integrasi. ...
  • PAMERAN BUKU INTERNASIONAL
    dimuat di Sindo Jabar, 26 Oktober 2015 Oleh: Anindita S. Thayf Apa yang ditemukan Zarathustra setelah berkata, "Tuhan telah mati...

Blog Archive

  • ▼  2015 (29)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (2)
    • ▼  Oktober (23)
      • Game of Thrones : Sebuah Kebangkitan Tragedi Yunani
      • PAMERAN BUKU INTERNASIONAL
      • Invasi Kebudayaan : Dibalik Persaudaraan Jepang-In...
      • Hasil Penelitian LPRIS = Blandongan : Perebutan Ku...
      • Anak Timor Timur di Indonesia – Helene van Klinken
      • Mematahkan Pewarisan Ingatan – Budiawan
      • Pengakuan Bandit Ekonomi (Buku Kedua) – John Perkins
      • Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (Buku Pertama) – ...
      • Kapital III – Karl Marx
      • Kapital II – Karl Marx
      • Seminar Para Pemikir Besar, Wolfgang Iser – The...
      • Budi Irawanto - Teori Film
      • Kuliah Umum : Masyarakat Manajerialisme, oleh D...
      • Rembang Melawan
      • Friedrich Nietzsche - Nihilisme
      • Jacques Lacan - Psikoanalisa
      • Thorstein Veblen - Conspicuous Consumption
      • Dalih Pembunuhan Massal – John Rossa
      • Jahitan di Kursi Tua
      • Mata Lena
      • Program Kerja
      • Visi dan Misi
      • Latar Lembaga

Mengenai Saya

Foto saya
Elpris
Lihat profil lengkapku
LPRIS. Diberdayakan oleh Blogger.

Lembaga Penelitian Rekonsiliasi dan Integrasi Sosial


Copyright © LPRIS | Powered by Blogger
Design by Hardeep Asrani | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Distributed By Gooyaabi Templates