Korea
Selatan, setelah mengalami kemunduran ekonomi yang cukup signifikan pada tahun
1998, pemerintah mengkreasikan sebuah strategi soft power untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi, yang kemudian
disebut dengan istilah Hallyu. Ia merupakan strategi dimana produk-produk
kultural Korea Selatan diekspor secara masif untuk membangun sendi-sendi
ekonomi baru, juga untuk membangun citra negara. Media merupakan ‘senjata’
penyebar yang digunakan untuk menjalankan strategi tersebut, karena sifatnya
yang global dan mampu menyebar secara cepat. Dengan demikian produk kultural
Korea yang berupa film, drama dan musik mulai dikenal secara luas terutama di
Asia, Fenomena ini kemudian disebut dengan gelombang Korea atau Korean Wave. Sebagai soft power,
ia digunakan untuk mendongkrak popularitas dan citra Korea Selatan, yang juga
menyisipkan kepentingan ekonomi untuk menjual produk-produk industri lain.
Strategi
export industri budaya ini juga dilakukan oleh Jepang. Meskipun tidak semasif
Korea saat ini, namun Jepang sudah lebih dulu memiliki tradisi penyebaran
kebudayaan yang sudah banyak dikenal di kawasan Negara Asia bahkan dunia.
Produk industri budaya tersebut antara lain berupa komik anime, film-film kartun
maupun superhero. Nama-nama kreator komik Jepang yang paling terkenal antara
lain, Akira Toriyama (Dragon Ball), Eichiro Oda (One Piece) dan Masashi Kishimoto (Naruto).
Jepang dan Korea memiliki latar belakang berbeda
perihal invasi industri budayanya. Jika Korsel berlatar pemulihan krisis
ekonomi, maka motivasi Jepang bisa dirunut dari diskursus historis yang
dilancarkannya semenjak perang dunia II. Jepang dahulu punya ambisi mengobarkan
perang Asia Timur dengan membebaskan seluruh bangsa Asia dari penjajahan Barat.
Jepang juga berambisi mempersatukan Asia dalam lingkungan kemakmuran bersama
Asia Timur Raya di bawah kepemimpinannya. Diskursus inilah yang menjustifikasi
praktik penjajahan terhadap Indonesia dengan dalih mengusir penjajah Barat,
yakni Belanda. Wacana yang bersiar di tanah jajahan Indonesia antara lain
propaganda 3 A, Nipon pemimpin, pelindung dan cahaya Asia. Melaluinya secara
kultural, Jepang berperan sebagai saudara tua (older brother) bagi Indonesia, dan bangsa Asia pada umumnya. Seiring
berkembangnya zaman, penyebaran diskursus yang awalnya dilakukan melalui
penjajahan, sekarang dilakukan melalui berbagai macam produk (industri) budaya
Jepang.
Dalam
hal industri budaya, Jepang mulai mengepakkan sayapnya ke Negara-negara Asia.
Ia mengorientasikan perkembangan kebudayanya ke luar negeri untuk disebarkan
sebagai produk konsumsi. Fenomena ini bisa ditunjukkan melalui idol grup AKB48
yang diperlakukan layaknya perusahaan Franchise yang memiliki cabang-cabang
berlisensi lintas Negara. Cabang itu kemudian disebut dengan sister grup dari
AKB48, antara lain SKE48
(Nagoya), NMB48 (Osaka), HKT48 (Hakata), SNH48 (Shanghai), TPE48 (Taiwan) dan
JKT48 (Jakarta).
Semuanya tergabung dalam keluarga 48 (48
Family) dengan saudara tua AKB48. Pada 20 Februari 2015 lalu, AKB48 dan
JKT48 mengadakan konser kolaborasi di Jakarta bertajuk “Bergandengan Tangan
dengan Kakak”. Dalam hal ini, idol grup Indonesia diposisikan sebagai adik
perempuan dari Jepang, artinya melalui produk kebudayaannya, Jepang hendak
kembali mengkonstruksi dirinya menjadi saudara tua Asia.
Tak hanya di Jakarta sebagai pusat industri
budaya di Indonesia, Jepang juga memiliki program sister city dengan
menggandeng Yogyakarta sebagai adik perempuan. Sebagai wujud tali persaudaraan
tersebut, pada tanggal 3-6 September 2015 di Grha Sabha UGM akan diadakan
‘Jogja Japan Week’. Event tersebut merupakan ruang kontestasi kebudayaan Jepang
dan Indonesia. Dalam hal ini, kebudayaan Indonesia yang diwakili Yogyakarta mendapatkan
kesempatan bertemu secara kultural dengan kakak perempuannya Jepang. Invasi
kebudayaan (saya menyebutnya demikian karena ia dihadirkan dengan sengaja, dan sifatnya
massif dan ofensif yang menimbulkan ruang kontestasi kultural antara pihak
penerima dan pengirim) datang dengan memunculkan beberapa beberapa kemungkinan
antara lain ia menjadi dominan, keduanya saling bernegosiasi, atau budaya kita
menjadi oposisi. Jika ia dominan, maka konsekuensinya kita akan menjadi
konsumen potensial yang akan menyerap banyak produk budaya Jepang. Kita juga
bisa membuka diri dan bernegosiasi dengan budaya Jepang, namun masih tetap
mempertahankan nilai-nilai luhur/ketimuran, contohnya kesopan-santunan adalah
hal yang tidak bisa ditawar. Sedangkan kemungkinan oposisi adalah kita
meresepsi budaya Jepang lalu timbul bentuk-bentuk perlawanan terhadapnya. Mungkin
saja resistensinya bisa muncul dari kelompok anak muda yang kreatif membuat
meme, seperti gambar Miyabi yang menggunakan kerudung mengucapkan Selamat Hari
Raya Idul Fitri.
Adik perempuan tidak selalu patuh pada
kakaknya, bahkan jika ia cengeng sekalipun, karena tangisannya bisa membuat
orang tuanya lebih perhatian padanya daripada si kakak, sehingga dominasi
menjadi milik sang adik. Namun dalam hal ini, sang kakak akan terus ofensif
kepada adiknya karena ia tidak mau posisi kakak yang dirasa lebih tinggi
dibalikkan begitu saja. Sang kakak akan terus mempertahankan posisinya dengan
terus ofensif, karena pertahanan paling baik adalah dengan menyerang.
Begitulah setidaknya
hubungan kultural antara Indonesia dengan Jepang.
0 komentar:
Posting Komentar