Oleh Jean Couteau*
Diguyur hujan musim
dingin, sambil berjalan-jalan mencari bus di kota Nantes, Perancis, saya
membayangkan betapa “traumatis” pengalaman orang Indonesia yang pertama kali
bersentuhan dengan kehidupan ala Eropa. Marilah membandingkan pengalaman orang
bule di Indonesia. Ulasan ini dengan sedikit melebih-lebihkan.
Orang
bule yang baru menginjak bumi Pertiwi aka selalu dan seketika merasa “enak”.
Lihat saja daftar kesenangan potensial itu. Cuaca? Tak perlu memakai mantel.
Hujan? Jarang hujan sepanjang hari. Kepanasan? Ke mal atau toko pasti ada AC.
Duit? AMan-aman saja: tak mungkin dibiarkan tinggal di kolong jembatan. Lalu
bagaimana manusianya… Waah!”
“Bagus”.
Entah kenapa, orang-orang senyum melulu, bahkan tak jarang sambil
membungkuk-bungkuk. Baru si bule minta minum, langsung “ditawarin” bir. Lalu
mau belanja? Semua serba murah-biarpun “dimahalin sedikit” dulu. Tetapi ini
baru awal. Kalau mulai bergaul, biarpun bule itu bodoh tak ketulungan, pasti
dianggap cerdas; baru dia mengucapkan satu-dua patah kata dalam “Bahasa”, sudah
dikatakan lancar.
Semua
kagum. Oh, ya, saya lupa. Si bule boleh marah: yang dimarahi selalu diam – diangggap
wajar orang bule marah… Yang maha penting, kalau dia “naksir” cewek,
kemungkinan besar gol, biarpun dia sendiri gembrot atau kudisan. Dianggap
pangeran. Enak kan, bagi bule itu? Melihat itu semua, siapa yang tidak mau jadi
bule di negeri dongeng Indonesia? Biarpun dituduh imperialis, dianggap tidak
kenal moral dan ditipu, bule itu tidak perlu peduli. Bahkan dia pun bisa
belajar untuk tersenyum.
Lalu
bagaimana kalau Anda, sebagai orang Indonesia, menginjakkan kaki di bumi para “hidung
panjang”, katakanlah Perancis. Lain sekali! Awalnya berat. Harus siap menggigil
karena dingin. Kalau tidak ada teman Indonesia untuk membantu, pasti susah.
Siapa yang bsa diajak ngomong? Orang-orang begegas-gegas “lagaknya
persisi robot”. Kalau tidak ada “robot” itu, biasanya tidak ada siapa pun:
jalan-jalan kosong. Lalu, bila sempat bertemu orang, pasti anda akan tersenyum,
kan? Seperti orang Indonesia pada umumnya. Tapi justru keliru: 50 persen
kemungkinan bahwa si bule yang Anda sapa dengan senyum, akan bermuka mesem atau
bergaya sombong.
Tak
jelas sebabnya, tapi memang begitulah orang bule! Pokoknya jangan tersenyum,
apalagi dengan menatap mata. Bisa-bisa diganggu, dipikir menantang berkelahi,
atau kalau perempuan, dikira mengajak mesum. Membingungkan. Tetapi camkanlah di
otak: harus cuek, bahkan rada arogan, baru “dipandang”. Dan jangan dikira
bahasa Inggris akan membantu! Apalagi bila sebatas “cas-cus” saja: bisa-bisa
Anda dikira imigran gelap.
Lalu,
bila berani naik angkutan umum, dan terutama bila tetap berani tersenyum, bisa
jadi kecopetan dompetnya oleh sesama “imigran”. Apakah lebih aman kalau
belanja? Ya! Tetapi, jangan kaget bila dianggap kere dan tak dihiraukan oleh
pramuniaga. Frustasi!
Baru
mulai menarik bila Anda terbawa diskusi rada intelek di kafé keren. Pada
awalnya memang Anda pasti kaget. Aduh, sombongnya waiter Perancis! Lalu
kaget melihat orang-orang ngomong kayak bertengkar; suaranya keras, ngotot-ngototan!
Akan saling pukulmemukulkah? Tidak. Tiba-tiba mereka tertawa terbahak-bahak.
Aneh!
Kalau
di kalangan borju, lain lagi. Gerak kaki, tangan Anda, suara, siapa
bicara duluan, apa yang harus dibicarakan, semua ada kodenya. Yang
paling penting: harus bergaya! Bukan dalam penampilan saja, tetapi dalam isi
pembicaraan. Apakah membicarakan “mati-nya post-modernisme” atau pameran Anish
Kapoor di Versailles Palace, harus “unggul” atas lawan diskusinya. Menantang,
tetapi pasti rada sulit menyesuaikan diri bagi orang Indonesia yang senantiasa “taat”
dan murah senyum itu. Lalu, Anda pasti bertanya: bagaimana soal cewek bule?
Kalau Anda kalah di pertarungan intelek di atas, masih bisa mengeluarkan kartu “eksotis”
Anda: menjadi pangeran dari pulau dongeng. Bukankah banyak tokoh kemerdekaan
Indonesia telah berhasil mengatasi trauma psikologis penjajahan dengan
mengencani atau menikahi perempuan bule? Untuk naksir: cukup berikan bunga
mawar setangkai!
Yang
penting, kalau sudah pulang di Indonesia, jangan lupa mengutip Bourdieu dan
Baudrillard serta menyatakan kekaguman pada museum Le Louvre, meskipun tidak mengunjunginya.
Berarti Anda pun sudah menjadi keren ala Perancis, alias sombong. Sialan: yang
dikira jelek selalu juga ada baiknya dan kebalikannya. He… he…
*Jean Couteau adalah seorang budayawan Bali dan kritikus seni asal Perancis. Ia juga banyak menulis tentang Perancis, salah satunya memberikan kata pengantar pada buku Pemberontakan Mahasiswa: Revolusi Perancis, Mei 1968. Tulisan "Tarumatis" ini diterbitkan oleh koran Kompas, Minggu 27 Desember 2015, dan direproduksi tidak untuk tujuan komersil, alias hanya demi kepentingan berbagi pengetahuan.
0 komentar:
Posting Komentar