Oleh Yongky Gigih Prasisko
My mind is
clear. I go to slay My children … I their mother, touched of none Beside
Born of thy
flesh,' 'thine own beloved[1]
Medea : Perempuan
Real
Medea,
seorang ibu dan istri, tega membunuh dua anaknya demi membalas sakit hati
suaminya, Jason. Sang suami berencana akan menikahi seorang putri raja Creon.
Lacan mengutip karakter Medea sebagai une vraie femme (the real woman)[2].
Tentu saja, real woman tidak bisa
secara sederhana diterjemahkan sebagai perempuan yang sebenarnya atau perempuan
ideal. Istilah real berkaitan dengan konsep psikoanalisis tentang
pengalaman primordial subjek. Fase awal dalam proses pembentukan subjek melalui
bahasa. Fase real adalah pengalaman subjek ketika belum mengenal bahasa,
ketika ia belum bisa membedakan tubuhnya dengan ibunya dan merasakan
keutuhannya, dalam artian tidak merasa kekurangan (lack) atau retak.[3] Lacan
menyebut pengalaman diri dalam real sebagai ‘I’, yang dibedakan dengan
ego. Ego adalah bentuk kekurangan dari I[4], ego
adalah proyeksi ‘I’ yang tak sempurna. Jika saya boleh menerjemahkan, supaya
lebih mudah dipahami, ‘I’ adalah subjek otentik. Tokoh Medea dianggap sebagai
subjek otentik yang telah melampaui segala simbolisasi (ego). Simbolisasi ibu
dengan anak, ia lampaui dengan membunuh kedua anaknya. Simbolsasi, sebagai
istri, ia lampaui dengan meninggalkan suaminya, serta simbolisasi bangsa,
dilampauinya dengan pergi dari negaranya Corinth. Medea adalah ‘I’ yang tak
lagi terikat oleh segala simbolisasi, berhasil keluar dari keterasingan dan
menjadi dirinya yang otentik.
Bagaimana
dengan simbolisasi perempuan dan laki-laki? Pembagian keduanya bisa dikatakan
simbol paling awal yang didasarkan pada fakta material manusia, yakni pembedaan
secara biologis. Simbol tersebut bahkan dalam tradisi dianggap sebagai sesuatu
yang natural secara seksual. Secara natural, keturunan akan lahir dari hasil
hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Itu secara biologis, berbeda
lagi jika dilihat dari dimensi mentalnya. Pelampauan akan fakta biologis
laki-laki dan perempuan bisa dilakukan dengan mentransformasikannya ke dalam
rumusan abstrak. Untuk mengganti kata seksualitas (biologis, material), Lacan
menggunakan istilah seksuasi (abstrak).
Formula Seksuasi[5]
Laki-laki
|
Perempuan
|
||
|
|
Laki-laki di sini
tidak diartikan sebagai ia yang memiliki penis, atau perempuan bukanlah ia yang
memiliki payudara dan vagina, tetapi laki-laki adalah ia yang percaya bahwa
dirinya utuh (di luar fungsi falus) dan perempuan adalah ia yang percaya bahwa
dirinya kurang (menerima fungsi falus). Formua 1 dan formua A merupakan kondisi
dasar yang mengecualikan formula 2 dan formula B. Karena laki-laki percaya
dirinya utuh (hanya percaya padahal tidak), maka ia sebenarnya adalah diri yang
kurang. Ia menutupi kekurangannya dengan percaya bahwa dirinya utuh. Sedangkan
perempuan, oleh karena ia percaya bahwa dirinya kurang, maka ia bisa menjadi
utuh. Keutuhan hanya mungkin didapatkan jika ia mempercayai dirinya kurang. Di
sini kita bisa melihat bahwa hanya perempuanlah yang mungkin menjadi diri yang
utuh, mengalami the real, dan menjadi subjek otentik. Dari sini kita
sudah mulai memahami konsep the real woman (semoga).
Medea hanyalah satu contoh dari the
real woman, tentu saja subjek the real woman tidak mesti melakukan
tindakan se-ekstrim Medea. Sesuatu yang hendak ditangkap dari penjelasan
perihal the real woman adalah bahwa ia mengorbankan hal yang paling
berharga bagi dirinya. Subjek yang utuh tidak akan merasa kekurangan, maka dari
itu ia tidak akan berniat untuk memiliki seuatu demi memuaskan hasratnya. Hanya
subjek yang kuranglah yang berhasrat memiliki sesuatu untuk memenuhi
kekurangannya. Ini juga berlaku bagi persoalan cinta. Orang yang mencintai
adalah subjek yang kurang, maka dari itu ia berhasrat memiliki orang lain untuk
memenuhi dirinya yang kurang. Kecenderungan ini dimiliki oleh laki-laki.
Laki-laki selalu dibebani dengan logika ‘memiliki’ (having). Memiliki
dalam artian perasaan yang memberikannya hak milik untuk menjadi superior,
kepemilikan yang juga berarti ketakutan jika ada seseorang yang mencuri sesuatu
yang menjadi miliknya. Laki-laki itu memang pengecut.[6]
Hidupnya selalu dipenuhi ketakutan akan kehilangan sesuatu. Berbeda dengan
perempuan yang sanggup melampaui logika having, dan menjadi subjek yang
utuh, tidak membutuhkan sesuatu di luar dirinya untuk melengkapinya, karena ia
memang tidak kurang. Dalam kasus Medea, logika not-having, yang
melampaui logika having, ini ditunjukkan dengan melenyapkan miliknya
yang paling berharga, yakni kedua anaknya. Melepaskan segala simbolisasi dan
menjadi bukan siapa-siapa (limitless feminine)[7].
Menjadi landless and childless woman.
Mine, whom no hand shall steal from me away! Then, leaving Jason childless,
and the day As night above him, I will go my road To exile, flying, flying from
the blood Of these my best-beloved and having wrought All horror … I have no
home, No country now, nor shield from any wrong.[8]
Siti : Perempuan
Palsu
Saya
menonton film Siti di acara Sewon Screening 2015, di ISI Yogyakarta pada 1
November 2015. Film ini diproduksi oleh Production House Fourolours dan
disutradarai oleh Eddie Cahyono. Sebagaian besar konten cerita dibangun dari
pergerakan kamera yang mengikuti kemanapun tokoh Siti pergi, dan hanya
meninggalkannya di awal pada saat Siti di kamar mandi.Yang hendak saya sorot di
sini, bukanlah aspek sinematis, naratif maupun tematiknya, tetapi fokus saya
adalah menjelaskan kompleksitas mental tokoh Siti dari sudut pandang
psikoanalisis. Siti tentu berbeda dengan Medea. Medea sengaja saya munculkan di
awal sebagai pembanding, sekaligus pintu masuk dalam memahami subjek yang
termanifestasikan oleh tokoh Siti.
Perbincangan
perihal the real woman melalui tokoh Medea memberikan pemahaman awal
tentang sebuah kemungkinan, bagaimana jika wanita tidak sanggup melampaui simbolisasi
yang mengikat dirinya? Apa yang akan terjadi jika ia tidak bisa mengatasi
kekurangannya, sedangkan kondisi awalnya wanita adalah subjek yang kurang?
(lihat formula A) Jawaban paling sederhana adalah ia akan mengalami penyakit
kejiwaan. Lalu bagaimana seharusnya kita bertindak dalam kondisi sakit jiwa? Pembahasan ini nantinya akan mengrah pada etika psikoanalisis. Untuk memahami etika psikoanalisis, pertama kali kita harus
menghilangkan dulu hal-hal yang berbau normatif. Jika kita masih
menggunakannya, kita pasti akan terjebak pada tradisi yang menilai bahwa
tindakan Medea membunuh anaknya, meninggalkan suaminya dan negaranya adalah
sepenuhnya salah. Psikoanalisis bersifat reflektif terhadap tradisi norma,
alias tabiatnya selalu mempertanyakan status quo, dan mendorong
untuk melampauinya.
Penyakit jiwa adalah suatu pandangan normatif. Lacan cenderung menyebutnya bukan sebagai penyakit tetapi sebagai struktur mental manusia. Mental
manusia memiliki dua ekstrim, yakni bahasa dan alam bawah sadar. Ketika ia
memasuki alam bawah sadar maka ia menolak aturan bahasa (instinct drive).
Sebaliknya, ketika ia merasuk ke (aturan) bahasa, maka ia harus merepresi alam
bawah sadarnya (libido – Freud, hasrat – Lacan). Maka dari itu, Lacan meyakini
bahwa tidak ada manusia yang ‘normal’ atau ‘sehat’ secara mental. Mereka selalu
hidup dalam tekanan berbagai macam simbolisasi yang memenjarakannya. Subjek
yang berhasil merepresi dirinya, atau dengan kata lain sanggup mengikuti aturan
dan norma, yang seringkali disebut normal, sebenarnya tengah mederita neurosis.
Basis neurosis adalah represi.[9] (Verdrängung).
Subjek neurosis menggunakan mekanisme represi dalam dirinya ketika berhadapan
dengan nom du père (name-of-the
father atau symbolic order). Ia merepresi dorongan alam bawah sadar
atau insting demi mengikuti aturan rantai penanda atau norma di masyarakat. Gejala
neurosis terletak di kepala, yang menghasilkan fenomena histeria. Sebaliknya
subjek yang gagal merepresi dirinya, dipahami sebagai penderita psikosis.
Mekanisme dalam psikosis adalah foreclosure[10]
(Verwofen). Istilah ini jika dijelaskan cukup rumit, jika
disederhanakan ia merupakan penyangkalan terhadap nom du père. Seorang psikosis biasanya mewujud dalam fenomena
paranoia, melihat bayangan dalam dunia the real dan mengalami delusi. Kemungkinan lain adalah
perversi, dengan mekanisme diri yang disebut dengan disavowal (Verleugnung), yang berarti penyangkalan lack, dan menganggap
dirinya utuh melalui tatanan simbolik, ia berfantasi terhadap other[11]
atau tatanan simbolik. Setiap subjek, tak bisa dihindari, akan mengalami
ketiga macam proses kejiwaan ini ketika berhadapan dengan tatanan simbolik di
luar dirinya.
Jika melihat tokoh Siti sebagai
seorang perempuan yang bekerja demi menghidupi anak, mertua dan suaminya yang
lumpuh, ditambah lagi dengan beban hutang suaminya yang harus dibayar, ia jelas
hidup dengan penuh tekanan. Namun sayangnya, yang membedakannya dengan Medea
adalah, ia tidak bisa keluar dari tekanan itu. Tekanan di sini dimaknai secara
simbolik, yakni tatanan relasi, atau rantai penanda, antara lain ibu dan anak,
suami dan istri, menantu dan mertua, perselingkuhan atau kesetiaan. Siti memang
mampu untuk keluar dari simbolik suami dan istri, yang mensyaratkan monogami
dan kesetiaan, dengan berhubungan dengan laki-laki lain, seorang polisi bernama
mas Gatot, tapi kemudian ia harus kembali lagi dengan keluarganya, merawat
suaminya dan bekerja seperti biasa. Siti menjalani hidupnya dalam logika having,
memiliki suami, mempunyai anak dan mertua, apapun yang dilakukannya adalah demi
mereka sebagai harta berharga miliknya. Perempuan dalam logika having
disebut dengan femme à postiche[12]
(perempuan palsu), kontra dengan une vraie femme (perempuan real). Siti
merepresi dirinya mengikuti logika having dan tatanan simbolik. Dalam
hal ini, ia mengalami neurosis. Terlihat di akhir film, ia mengalami histeria,
keluar dari rumahnya, pergi ke pantai dan menjerit.
Etika psikoanalisis dalam bayangan
pikiran normatif nampak seperti dorongan untuk melakukan tindakan asusila,
melanggar hukum, aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Etika
psikoanalisis persis kebalikan dari moral Kantian, yang mendasarkan pada
rasionalitas. Pertanyaan yang barangkali muncul, terkait dengan tokoh Siti,
adalah apakah Siti harus membunuh suaminya yang lumpuh untuk melampaui simbolik
istri? apakah ia juga harus menterlantarkan anaknya demi melampaui simbolik
ibu? serta meninggalkan mertuanya untuk melampaui simbolik menantu? Akhir cerita
juga dibiarkan terbuka, Siti keluar meninggalkan mereka, namun ia masih
histeria. Nampak bahwa ia belum bisa melampaui segala simbolisasi yang
merepresi dirinya. Etika psikoanalisis sebenarnya mengajarkan bahwa kita harus
menyadari bahwa ketika kita masuk dalam ruang norma dan logika having,
maka konsekuensinya adalah kita akan kehilangan, ditinggalkan atau dikhianati.
Seperti cerita King Lear dan Oedipus yang masuk dalam dunia simbolik dan pada
akhirnya mengalami kesendirian dan pengkhianatan.[13]. Lalu
bagaimana mengatasi penderitaan itu semua, atau keluar dari sirkuit jahanam
tersebut. Etika psikoanalisa mengajarkan sesuatu yang disebut dengan sublimasi.
Sublimasi adalah proses pemenuhan hasrat melalui tindakan produktif
non-seksual, seperti karya artistik dan intelektual. Pelampauan atas dunia
simbolik tidak dianjurkan dengan melanggar hukum, kriminal atau berbuat
asusila. Sublimasi adalah proses yang berhubunan dengan objek libido.[14]
Objek libido bukanlah penanda dalam tatanan simbolik, tetapi ia berasal dari creation
ex-nihilo[15]
(penciptaan sesuatu yang belum ada sebelumnya). Contoh yang cukup menarik dari
Lacan adalah tentang seoang sastrawan Irlandia bernama James Joyce. James Joyce
adalah seorang psikosis yang berhasil mengatasi psikosisnya. (Namun nampakanya
jika dijelaskan akan menjadi panjang lebar, jadi lebih baik dicukupkan samapi
di sini).
Sebenarnya
masih banyak pembahasan perihal etika psikoanalisa, tetapi mungkin di lain
kesempatan saya akan membahasanya. Sementara ini, tujuan saya adalah mengeluarkan
psikoanalisis dari cap yang negatif, perihal seksualitas, insting, libido
maupun hasrat yang secara normatif seringkali tabu dibicarakan, karena
stereotip buruknya. Psikoanalisis sebenarnya mendorong manusia untuk kreatif,
selalu reflektif dengan tradisi, dan mencapai pembebasannya dengan mencipta.
[1] Euripides, (1906), Medea of Euripides, translated
with explanatory notes by Gilbert Murray, (New
York:Oxford University Press American Branch), hlm 31
[2] Slavoj Žižek, (2000), The
Fragile Absolute, or Why is the Christian Legacy worth fighting for?,
(London / New York: Verso),
hlm. 149.
[3] The real is absolutely without
fissure. Jacques
Lacan, (1991), The Seminar Book II: The Ego in Freud’s Theory (1954-1955) diterjemahkan
oleh Sylvana Tomasseli (New York: W.W. Norton & Co.), hlm. 97.
[5] Robertus Robert, (2013), “Subyek atau
Mengapa Perempuan Tidak Eksis: Provokasi Lacan tentang Seksuasi dan Tindakan
Etis” dalam Handayani dkk., (2013) Subjek yang Dikekang,
(Jakarta:Komunitas Salihara), hlm 59.
[6] Jacques-Alain
Miller, “On Semblances in the Relation between Sexes” dalam Renata Salecl, ed.,
Sexuation (Durham dan London: Duke University Press, 2000), hlm
20.
[7] Ibid.
[8] Euripides, ibid, hlm. 22
[9] Jacques Lacan, The Seminar of
Jacques Lacan Book III: The Psychoses 1955-1965, edited by Jacques-Alain
Miller, translated with notes by Russell Grigg, (New York:W.W. Norton, 1993)
hlm.84.
[10] Ibid, hlm 321.
[11] Jacques Lacan, Écrit:A selection,
translated by Alan Sheridan,
with a foreword by Malcolm Bowie, (London:Routledge), hlm 246.
[12] Jacques-Alain Miller,
ibid, hlm. 21-22
[13] Jacques Lacan, The seminar
of Jacques Lacan,
Book VII: The Ethics of Psychoanalysis 1959-1960, Translated
with notes by Dennis porter W.,
edited by Jacques-Alain Miller,
(New York: W.W. Norton Company, 1992), hlm 305
[14] Jacques Lacan, 1992, hlm 95.
[15] Ibid, hlm. 121.
0 komentar:
Posting Komentar