Oleh Yongky Gigih Prasisko
Oeek...
Oeek... Oeekk..
Hari
bahagia itu telah tiba, tangisan yang kutunggu-tunggu selama 29 tahun, akhirnya
ia telah lahir dengan nama Annemarie Ning Pitaloka, nama yang diberikan istriku
untuk putri pertama kami. Tangannya mungil dan halus ketika menyentuh wajahku,
pipinya lembut nan empuk jika kucium, rambutnya hitam ikal, masih tidak lebat, hidungnya
kecil seperti kelereng mungil menggelinding di kedua jari telunjuk dan
jempolku, kucubit hidungnya pertandan gemas. Betapa bahagianya aku sebagai
seorang ayah karena tak melewatkan momen untuk melihatnya pertama kali sesaat
setelah dia lahir. Aku taruh dia di samping ibunya, lalu pergi ke toilet hendak
membersihkan muka, karena selama semalam aku tidak tidur, menunggu saat
kelahiran yang bahagia ini.
Kaca
di toilet mencerminkan jelas raut mukaku yang kusut, pucat karena kecapekan.
Ahhh air kran mulai membasuh wajahku perlahan-lahan, yang kurasakan hanyalah
hambar, tidak dingin tak juga panas. Kulihat lagi wajahku di cermin, masih
belum jelas, aku basuh wajahku kedua kalinya, mataku kukedipkan berkali-kali,
kusiram lagi mukaku dengan air dan cukup jelas aku melihat kedua mataku di
depan cermin. Kemudian aku teringat, “ya, aku belum melihat matanya”. Dalam
keadaan yang cukup segar aku bergegas keluar toilet, berlari menuju kamar
bersalin, hendak melihat mata Annemarie Ning Pitaloka.
.......................................................
“Kita
jalan kaki saja”. Kata Lena
“Perjalanannya
bakal lama”
“Ya
nanti kita naik busway, semakin lama perjalanan, semakin kita bisa memahami
pribadi masing-masing. Kita bisa merasakan berbagai tempat yang berbeda, dan nanti
kau akan mengerti bahwa dunia hanya milik kita berdua, orang lain hanya
ngontrak dan kost di dunia kita. Itu artinya apa? Jalan kaki lebih romantis”.
“Nanti
kau gendong aku kalau kecapekan”
“Ya,
nanti sekalian aku carikan keranda biar kau digotong banyak orang, haha”
“Ah,
kurang ajar”.
Perjalanannku
dengan Lena menuju suatu tempat adalah momen kebersamaan yang jarang aku
nikmati. Kita bertemu hanya sebulan sekali, dan itupun hanya satu hari. Bagiku
Lena adalah sosok perempuan yang aneh. Sulit sekali aku memahami wanita satu
ini. Selama kami berhubungan, meskipun tidak jelas apa sebenarnya bentuk
hubungan kami, dia tidak pernah memberikan nomor handphonenya kepadaku,
alasannya adalah,
“Lebih
baik kita saling mendoakan daripada saling berhubungan dan berbicara hal-hal
yang tidak penting lewat handphone” kata Lena.
Aku
turuti saja kemauannya. Meskipun sebenarnya aku tahu nomornya tapi aku putuskan
untuk tidak menghubunginya, karena bisa berakibat rusaknya hubungan kita. Lena
adalah sosok yang ingin bebas, ia sengaja tidak ingin melibatkan banyak orang
di dalam hidupnya. Dia adalah orang yang independen, tidak mau bergantung
dengan siapapun. Tapi pada suatu saat, dia harus sadar bahwa dia harus
berkompromi dengan keadaan, dan bersikap realistis. Inilah tugas dan misiku
yang kelak akan menyadarkannya.
Pantai
menjadi tujuan perjalanan kami yang ditempuh selama sekitar 5 jam. Selama
perjalanan dia cerita tentang banyak hal, mulai dari kawannya, kuliahnya,
makanan, pakaian, film, buku bahkan sampai prinsip hidupnya. Dia menganggapku
sebagai satu-satunya orang yang bisa mengimbangi celotehannya. Namun satu hal
yang tak pernah dia ceritakan kepadaku, yakni keluarganya. Dia hanya bilang
bahwa ayahnya adalah seorang wiraswasta, sudah selesai, titik. Nampaknya perkara
ini adalah hal yang sensitif baginya. Aku juga tidak menuntut dia untuk cerita,
karena aku yakin nanti akan ada suatu momen ketika dia akan memberikan
kepercayaan sepenuhnya kepadaku, namun untuk saat ini belum.
Pantai
adalah tempat terbuka, cocok sekali untuk sebuah pengakuan, ketika komunikasi
antarorang menjadi tidak berjarak, karena semua rahasia sudah akan dibuka ke
permukaan. Di pantai semua orang akan bicara rahasia mereka, mulai dari anak
kecil yang bisa berteriak dan menangis sekencang-kencangnya, anak remaja yang
menyatakan cintanya, bapak-bapak yang pergi dengan selingkuhannya serta aku dan
Lena yang tanpa mempunyai bentuk hubngan yang jelas. Setalah kami sampai di
bibir pantai, Lena mulai menunjukkan sikap anehnya. Dia begegas pergi ke tepi
laut, aku sontak mengejarnya, aku takut dia melakukan sesuatu yang tidak-tidak.
Dia berhenti lalu berdiri di batu karang di pinggir pantai. Aku coba
mendekatinya, penasaran dengan apa yang hendak dia lakukan, dan tiba-tiba
Lena...
“ANJING
KALIAN SEMUA! JANGAN COBA-COBA MENGGANGGU HIDUPKU! AKU SUDAH TIDAK BUTUH
PERHATIAN KALIAN! PERGI! JANGAN DEKAT-DEKAT! AKU SUDAH TIDAK PEDULI LAGI! LABIH
BAIK KALIAN SEMUA MATI DARIPADA HIDUP MEMBUAT MALU ORANG LAIN! MATI! CEPATLAH
MATI! TEMPATMU BUKAN DI DUNIA INI!”
Ah
ada apa ini, baru semenit yang lalu dia kelihatan ceria, sekarang sudah berubah
180 derajat. Dia mengakhiri teriakannya dengan menangis, aku menghampiri dan
memeluknya. Bajunya sudah mulai basah entah karena cipratan air laut atau
karena air matanyanya yang terus mengalir. Kita berdiri di atas batu karang
dengan hempasan ombak yang cukup keras, dan kami tidak mempedulikan ombak itu.
Semakin keras ombak menghempas batu karang semakin kuat pelukan kami. Cukup
lama kami berdiri di sana, aku juga tidak peduli apakah orang lain melihat kami
berpelukan di batu karang ini, lalu apa pikiran mereka, terserah. Selang
beberapa lama, Lena sudah mulai tenang, aku lepaskan pelukan perlahan-lahan,
aku usap air mata di wajahnya, dan dia mulai membuka matanya. Sebuah keindahan
tiada tara, ciptaan Tuhan yang sungguh tak pernah aku perhatikan sebelumnya,
aku hanya berjarak sejengkal dengan wajahnya, mata Lena sungguh indah.
.........................................................................
Sialan
aku bertemuu mata ini lagi, mata Lena menjelma menjadi mata putriku, segera aku
kembalikan Annemarie ke sisi ibunya.
“Ayah,
kau kenapa? kau tak mau mengendong putrimu?” kata istriku
“Bukan
sayang, aku sepertinya kurang tidur, kepalaku pusing, aku mau mencari udara
segar di luar. Aku cuma sebentar, nanti aku balik lagi”. Aku langsung bergegas
keluar kamar, tanpa mempedulikan reaksi istriku”.
Di
taman rumah sakit, aku duduk di bawah pohon sendirian, merenung kembali,
mencoba untuk merangkai seluruh pengalaman yang terjadi padaku. Sarinah adalah
istriku, Lena adalah masa laluku, Annemarie adalah putriku. Lena sudah pergi,
Sarinah sekarang milikku, Annemarie adalah mutiara hidupku. Aku mencintai
Sarinah, aku menyayangi Annemarie, tapi aku tidak bisa melupakan Lena. Sarinah
bukan Lena, Annemarie juga tidak mungkin Lena. Lalu siapa sebenarnya yang
paling aku cintai? Setelah cukup lama aku merangkai pengalamanku, aku tidak
kuat menahan rasa kantukku dan akhirnya aku tertidur di bangku taman rumah
sakit.
.........................................................................
Setiap
hari aku mengirim doa untuk Lena, hal yang sudah lama tidak aku lakukan
semenjak Lena menghilang dan tidak lagi berhubungan denganku. Kalau dulu aku
berdoa demi hubunganku dengan Lena yang semoga menjadi abadi, begitu juga
dengan Lena, meskipun hubungan kami tidak memiliki kejelasan, namun melalui
hal-hal yang bukan verbal semuanya dapat menjadi jelas, melalui pengalaman yang
tak terkatakan. Namun sekarang aku berdoa untuk Lena, dimanapun dia berada,
dengan siapapun dia sekarang, semoga kebahagiaan selalu bersamanya, dan semoga
Tuhan selalu memberkatinya. Aku yakin Lena meninggalkanku dulu demi sebuah
kebahagiaan yang akan dia kejar, meskipun aku tidak paham apa arti kebahagiaan
baginya. Kenyataannya sekarang aku begitu mencintai putriku bukan karena dia
memiliki mata seperti Lena, tetapi karena Annemarie adalah anugerah terindah
yang diberikan Tuhan kepadaku, setelah...
Lena.
0 komentar:
Posting Komentar