LPRIS

  • Pekarangan
  • Profil
    • Latar
    • Visi dan Misi
    • Program Kerja
  • Seri Kuliah Sosial dan Budaya
    • Kuliah Budaya
    • Kuliah Sosial
    • Diskusi
  • Ebook
    • Buku Sosial
    • Buku Politik
    • Buku Teori
    • Buku Sastra dan Budaya
  • Ragam Tulisan
    • Berita
    • Esai
    • Cerpen
    • Puisi
  • Hasil Penelitian LPRIS

Sabtu, 26 Desember 2015

Traumatis

 Elpris     19.16     Esai     No comments   




Oleh Jean Couteau*

Diguyur hujan musim dingin, sambil berjalan-jalan mencari bus di kota Nantes, Perancis, saya membayangkan betapa “traumatis” pengalaman orang Indonesia yang pertama kali bersentuhan dengan kehidupan ala Eropa. Marilah membandingkan pengalaman orang bule di Indonesia. Ulasan ini dengan sedikit melebih-lebihkan.
            Orang bule yang baru menginjak bumi Pertiwi aka selalu dan seketika merasa “enak”. Lihat saja daftar kesenangan potensial itu. Cuaca? Tak perlu memakai mantel. Hujan? Jarang hujan sepanjang hari. Kepanasan? Ke mal atau toko pasti ada AC. Duit? AMan-aman saja: tak mungkin dibiarkan tinggal di kolong jembatan. Lalu bagaimana manusianya… Waah!”
            “Bagus”. Entah kenapa, orang-orang senyum melulu, bahkan tak jarang sambil membungkuk-bungkuk. Baru si bule minta minum, langsung “ditawarin” bir. Lalu mau belanja? Semua serba murah-biarpun “dimahalin sedikit” dulu. Tetapi ini baru awal. Kalau mulai bergaul, biarpun bule itu bodoh tak ketulungan, pasti dianggap cerdas; baru dia mengucapkan satu-dua patah kata dalam “Bahasa”, sudah dikatakan lancar.
            Semua kagum. Oh, ya, saya lupa. Si bule boleh marah: yang dimarahi selalu diam – diangggap wajar orang bule marah… Yang maha penting, kalau dia “naksir” cewek, kemungkinan besar gol, biarpun dia sendiri gembrot atau kudisan. Dianggap pangeran. Enak kan, bagi bule itu? Melihat itu semua, siapa yang tidak mau jadi bule di negeri dongeng Indonesia? Biarpun dituduh imperialis, dianggap tidak kenal moral dan ditipu, bule itu tidak perlu peduli. Bahkan dia pun bisa belajar untuk tersenyum.
            Lalu bagaimana kalau Anda, sebagai orang Indonesia, menginjakkan kaki di bumi para “hidung panjang”, katakanlah Perancis. Lain sekali! Awalnya berat. Harus siap menggigil karena dingin. Kalau tidak ada teman Indonesia untuk membantu, pasti susah. Siapa yang bsa diajak ngomong? Orang-orang begegas-gegas “lagaknya persisi robot”. Kalau tidak ada “robot” itu, biasanya tidak ada siapa pun: jalan-jalan kosong. Lalu, bila sempat bertemu orang, pasti anda akan tersenyum, kan? Seperti orang Indonesia pada umumnya. Tapi justru keliru: 50 persen kemungkinan bahwa si bule yang Anda sapa dengan senyum, akan bermuka mesem atau bergaya sombong.
            Tak jelas sebabnya, tapi memang begitulah orang bule! Pokoknya jangan tersenyum, apalagi dengan menatap mata. Bisa-bisa diganggu, dipikir menantang berkelahi, atau kalau perempuan, dikira mengajak mesum. Membingungkan. Tetapi camkanlah di otak: harus cuek, bahkan rada arogan, baru “dipandang”. Dan jangan dikira bahasa Inggris akan membantu! Apalagi bila sebatas “cas-cus” saja: bisa-bisa Anda dikira imigran gelap.
            Lalu, bila berani naik angkutan umum, dan terutama bila tetap berani tersenyum, bisa jadi kecopetan dompetnya oleh sesama “imigran”. Apakah lebih aman kalau belanja? Ya! Tetapi, jangan kaget bila dianggap kere dan tak dihiraukan oleh pramuniaga. Frustasi!
            Baru mulai menarik bila Anda terbawa diskusi rada intelek di kafé keren. Pada awalnya memang Anda pasti kaget. Aduh, sombongnya waiter Perancis! Lalu kaget melihat orang-orang ngomong kayak bertengkar; suaranya keras, ngotot-ngototan! Akan saling pukulmemukulkah? Tidak. Tiba-tiba mereka tertawa terbahak-bahak. Aneh!
            Kalau di kalangan borju, lain lagi. Gerak kaki, tangan Anda, suara, siapa bicara duluan, apa yang harus dibicarakan, semua ada kodenya. Yang paling penting: harus bergaya! Bukan dalam penampilan saja, tetapi dalam isi pembicaraan. Apakah membicarakan “mati-nya post-modernisme” atau pameran Anish Kapoor di Versailles Palace, harus “unggul” atas lawan diskusinya. Menantang, tetapi pasti rada sulit menyesuaikan diri bagi orang Indonesia yang senantiasa “taat” dan murah senyum itu. Lalu, Anda pasti bertanya: bagaimana soal cewek bule? Kalau Anda kalah di pertarungan intelek di atas, masih bisa mengeluarkan kartu “eksotis” Anda: menjadi pangeran dari pulau dongeng. Bukankah banyak tokoh kemerdekaan Indonesia telah berhasil mengatasi trauma psikologis penjajahan dengan mengencani atau menikahi perempuan bule? Untuk naksir: cukup berikan bunga mawar setangkai!
            Yang penting, kalau sudah pulang di Indonesia, jangan lupa mengutip Bourdieu dan Baudrillard serta menyatakan kekaguman pada museum Le Louvre, meskipun tidak mengunjunginya. Berarti Anda pun sudah menjadi keren ala Perancis, alias sombong. Sialan: yang dikira jelek selalu juga ada baiknya dan kebalikannya. He… he…

*Jean Couteau adalah seorang budayawan Bali dan kritikus seni asal Perancis. Ia juga banyak menulis tentang Perancis, salah satunya memberikan kata pengantar pada buku Pemberontakan Mahasiswa: Revolusi Perancis, Mei 1968. Tulisan "Tarumatis" ini diterbitkan oleh koran Kompas, Minggu 27 Desember 2015, dan direproduksi tidak untuk tujuan komersil, alias hanya demi kepentingan berbagi pengetahuan.




Read More
  • Share This:  
  •  Facebook
  •  Twitter
  •  Google+
  •  Stumble
  •  Digg

Sabtu, 12 Desember 2015

Sinopsis Film Bercermin

 Elpris     04.53     Esai     1 comment   



Permata tak ingin menjadi dewasa. Semakin bertambah usianya, membuatnya semakin terasing dan terpenjara. Tetapi mau tidak mau, ia tak bisa menghindar dari jeratan jaring yang memerangkapnya. Permata tak berdaya melawan. Badai frustasi sudah mulai menghampirinya, andaikata tak bisa keluar, dia akan menjadi gila. Namun, lama-kelamaan ia menjadi sadar bahwa sesuatu yang memasung dirinya tak lain adalah dirinya sendiri. Dari sinilah cerita bermula.

Sejak merasa dirinya terpasung, ia mulai mengalami stres dan temperamental. Ia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Ia berfikir keras untuk bisa bebas dari kungkungan dirinya sendiri. Awalnya ia tak berani menatap dirinya di depan cermin. Apapun cara dilakukannya untuk menghindar dari sosok dirinya di dalam cermin. Namun lama-lama ia mulai kesal karena seolah-olah ia terus diintai, seakan-akan tiada tempat untuk lari. Permata mulai menantang sosok dirinya, secara frontal, ia berontak dengan menggebrak cermin di depannya. Sia-sia perlawanannya, semakin ia melawan semakin sosok itu balik menyerang, bahkan lebh keras. Sampai akhirnya ia putus asa dan mulai kembali dengan keadaannya semula. Selang beberapa lama dia tahu bahwa kondisinya lebih buruk dari keadaannya semula. Ia mulai mencari akal untuk mengalahkan sosok di balik cermin itu. Ia yakin ia masih bisa hidup tanpa terus diintai oleh sosok itu.

Demi melawan cermin, maka Permata menghadapinya dengan cermin. Cermin satu akan memantulkan bayangannya di cermin kedua, begitu juga sebaliknya. Dengan begitu maka sirkulasi bayangan akan terperangkap dalam logika dua cermin. Tetapi rupanya ini hanyalah kemenangan sesaat. Ia tak bisa terus-menerus memegangi cermin untuk menghadapi cermin di depannya. Dalam kondisi ini juga, ia menjadi buta, tak bisa melihat apapun karena tertutup cermin yang dipegangnya. Mata rupanya menjadi satu-satunya yang harus dikorbankan untuk mengatasi persoalan ini semua. Mata juga menjadi harapan bagi dirinya untuk bisa merdeka dari perangkap cermin dan sosok dirinya. Dan pada akhirnya, ia memilih untuk menutup matanya dengan merekatkan cermin di depan mukanya. Sampai ia tahu bahwa kehilangan penglihatan adalah sebuah kemerdekaan bagi dirinya. Permata benar-benar bisa lepas dari sosok dirinya dalam cermin, dan berhasil mengalahkannya dengan telak. Kenikmatan primordial di masa kecilnya dapat dinikmatinya kembali di masa dewasanya. Ia bisa melakukan apapun yang dia suka, bahkan sesuatu yang tak mungkin sekalipun, yang tak bisa dilakukan orang-orang, yakni berdandan di depan cermin tanpa melihat, memilih baju-baju sesuka hati dan membuang yang tak perlu. Permata sudah merdeka sejak dalam pikiran.


Cermin diibaratkan sebagai norma sosial yang memberikan label dan identitas kepada seseorang.
Film ini mengisahkan tentang bagaimana sesorang bisa melampaui berbagai macam identifikasi/identitas dan menjadi dirinya sendiri yang bebas dan merdeka. Kembali kepada kenikmatan primordial ketika ia belum mengenal bahasa.
Read More
  • Share This:  
  •  Facebook
  •  Twitter
  •  Google+
  •  Stumble
  •  Digg

Jumat, 11 Desember 2015

Jurnalisme dan Media Baru

 Elpris     19.32     Diskusi     No comments   

Foto diambil dari Twitter BPPM Balairung UGM
https://pbs.twimg.com/media/CSnq2jYVEAAY9xW.jpg

Seminar Nasional : "Redefinisi Pers Menuju Masyarakat Melek Media", tanggal 31 Oktober 2015 di Grha Sabha Pramana UGM, dengan pembicara Daniel Dhakidae (Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Majalah Prisma), Abdul Hamid Dipopramono (Ketua Komisi Informasi Pusat), Imam Wahyudi (Dewan Pers Nasional), Amir Effendi Siregar (Direktur Warta Ekonomi dan Ketua PR2 Media).

Selamat belajar!

Link download.
https://drive.google.com/file/d/0BzCVLYv3TE_xVkFwejV1RFF1N0U/view?usp=sharing
Read More
  • Share This:  
  •  Facebook
  •  Twitter
  •  Google+
  •  Stumble
  •  Digg

Sabtu, 05 Desember 2015

Medea dan Siti : Potret Perempuan Real dan Palsu

 Elpris     21.12     Esai     No comments   



                                 
                                                                                 

  Oleh Yongky Gigih Prasisko

My mind is clear. I go to slay My children … I their mother, touched of none Beside
Born of thy flesh,' 'thine own beloved[1]
           
Medea : Perempuan Real
Medea, seorang ibu dan istri, tega membunuh dua anaknya demi membalas sakit hati suaminya, Jason. Sang suami berencana akan menikahi seorang putri raja Creon. Lacan mengutip karakter Medea sebagai une vraie femme (the real woman)[2]. Tentu saja, real woman  tidak bisa secara sederhana diterjemahkan sebagai perempuan yang sebenarnya atau perempuan ideal. Istilah real berkaitan dengan konsep psikoanalisis tentang pengalaman primordial subjek. Fase awal dalam proses pembentukan subjek melalui bahasa. Fase real adalah pengalaman subjek ketika belum mengenal bahasa, ketika ia belum bisa membedakan tubuhnya dengan ibunya dan merasakan keutuhannya, dalam artian tidak merasa kekurangan (lack) atau retak.[3] Lacan menyebut pengalaman diri dalam real sebagai ‘I’, yang dibedakan dengan ego. Ego adalah bentuk kekurangan dari I[4], ego adalah proyeksi ‘I’ yang tak sempurna. Jika saya boleh menerjemahkan, supaya lebih mudah dipahami, ‘I’ adalah subjek otentik. Tokoh Medea dianggap sebagai subjek otentik yang telah melampaui segala simbolisasi (ego). Simbolisasi ibu dengan anak, ia lampaui dengan membunuh kedua anaknya. Simbolsasi, sebagai istri, ia lampaui dengan meninggalkan suaminya, serta simbolisasi bangsa, dilampauinya dengan pergi dari negaranya Corinth. Medea adalah ‘I’ yang tak lagi terikat oleh segala simbolisasi, berhasil keluar dari keterasingan dan menjadi dirinya yang otentik.
Bagaimana dengan simbolisasi perempuan dan laki-laki? Pembagian keduanya bisa dikatakan simbol paling awal yang didasarkan pada fakta material manusia, yakni pembedaan secara biologis. Simbol tersebut bahkan dalam tradisi dianggap sebagai sesuatu yang natural secara seksual. Secara natural, keturunan akan lahir dari hasil hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Itu secara biologis, berbeda lagi jika dilihat dari dimensi mentalnya. Pelampauan akan fakta biologis laki-laki dan perempuan bisa dilakukan dengan mentransformasikannya ke dalam rumusan abstrak. Untuk mengganti kata seksualitas (biologis, material), Lacan menggunakan istilah seksuasi (abstrak).
Formula Seksuasi[5]
Laki-laki
Perempuan

Formula 1: Ada makhluk bertutur yang berada di luar fungsi falus.
Formula 2: Semua makhluk bertutur berada di bawah fungsi falus

Formula A: Tidak ada makhluk bertutur yang menolak fungsi falus.
Formula B: Tidak semua makhluk bertutur berada di bawah fungsi falus.

Laki-laki di sini tidak diartikan sebagai ia yang memiliki penis, atau perempuan bukanlah ia yang memiliki payudara dan vagina, tetapi laki-laki adalah ia yang percaya bahwa dirinya utuh (di luar fungsi falus) dan perempuan adalah ia yang percaya bahwa dirinya kurang (menerima fungsi falus). Formua 1 dan formua A merupakan kondisi dasar yang mengecualikan formula 2 dan formula B. Karena laki-laki percaya dirinya utuh (hanya percaya padahal tidak), maka ia sebenarnya adalah diri yang kurang. Ia menutupi kekurangannya dengan percaya bahwa dirinya utuh. Sedangkan perempuan, oleh karena ia percaya bahwa dirinya kurang, maka ia bisa menjadi utuh. Keutuhan hanya mungkin didapatkan jika ia mempercayai dirinya kurang. Di sini kita bisa melihat bahwa hanya perempuanlah yang mungkin menjadi diri yang utuh, mengalami the real, dan menjadi subjek otentik. Dari sini kita sudah mulai memahami konsep the real woman (semoga).
            Medea hanyalah satu contoh dari the real woman, tentu saja subjek the real woman tidak mesti melakukan tindakan se-ekstrim Medea. Sesuatu yang hendak ditangkap dari penjelasan perihal the real woman adalah bahwa ia mengorbankan hal yang paling berharga bagi dirinya. Subjek yang utuh tidak akan merasa kekurangan, maka dari itu ia tidak akan berniat untuk memiliki seuatu demi memuaskan hasratnya. Hanya subjek yang kuranglah yang berhasrat memiliki sesuatu untuk memenuhi kekurangannya. Ini juga berlaku bagi persoalan cinta. Orang yang mencintai adalah subjek yang kurang, maka dari itu ia berhasrat memiliki orang lain untuk memenuhi dirinya yang kurang. Kecenderungan ini dimiliki oleh laki-laki. Laki-laki selalu dibebani dengan logika ‘memiliki’ (having). Memiliki dalam artian perasaan yang memberikannya hak milik untuk menjadi superior, kepemilikan yang juga berarti ketakutan jika ada seseorang yang mencuri sesuatu yang menjadi miliknya. Laki-laki itu memang pengecut.[6] Hidupnya selalu dipenuhi ketakutan akan kehilangan sesuatu. Berbeda dengan perempuan yang sanggup melampaui logika having, dan menjadi subjek yang utuh, tidak membutuhkan sesuatu di luar dirinya untuk melengkapinya, karena ia memang tidak kurang. Dalam kasus Medea, logika not-having, yang melampaui logika having, ini ditunjukkan dengan melenyapkan miliknya yang paling berharga, yakni kedua anaknya. Melepaskan segala simbolisasi dan menjadi bukan siapa-siapa (limitless feminine)[7]. Menjadi landless and childless woman.
Mine, whom no hand shall steal from me away! Then, leaving Jason childless, and the day As night above him, I will go my road To exile, flying, flying from the blood Of these my best-beloved and having wrought All horror … I have no home, No country now, nor shield from any wrong.[8]

           
Siti : Perempuan Palsu
            Saya menonton film Siti di acara Sewon Screening 2015, di ISI Yogyakarta pada 1 November 2015. Film ini diproduksi oleh Production House Fourolours dan disutradarai oleh Eddie Cahyono. Sebagaian besar konten cerita dibangun dari pergerakan kamera yang mengikuti kemanapun tokoh Siti pergi, dan hanya meninggalkannya di awal pada saat Siti di kamar mandi.Yang hendak saya sorot di sini, bukanlah aspek sinematis, naratif maupun tematiknya, tetapi fokus saya adalah menjelaskan kompleksitas mental tokoh Siti dari sudut pandang psikoanalisis. Siti tentu berbeda dengan Medea. Medea sengaja saya munculkan di awal sebagai pembanding, sekaligus pintu masuk dalam memahami subjek yang termanifestasikan oleh tokoh Siti.
            Perbincangan perihal the real woman melalui tokoh Medea memberikan pemahaman awal tentang sebuah kemungkinan, bagaimana jika wanita tidak sanggup melampaui simbolisasi yang mengikat dirinya? Apa yang akan terjadi jika ia tidak bisa mengatasi kekurangannya, sedangkan kondisi awalnya wanita adalah subjek yang kurang? (lihat formula A) Jawaban paling sederhana adalah ia akan mengalami penyakit kejiwaan. Lalu bagaimana seharusnya kita bertindak dalam kondisi sakit jiwa? Pembahasan ini nantinya akan mengrah pada etika psikoanalisis. Untuk memahami etika psikoanalisis, pertama kali kita harus menghilangkan dulu hal-hal yang berbau normatif. Jika kita masih menggunakannya, kita pasti akan terjebak pada tradisi yang menilai bahwa tindakan Medea membunuh anaknya, meninggalkan suaminya dan negaranya adalah sepenuhnya salah. Psikoanalisis bersifat reflektif terhadap tradisi norma, alias tabiatnya selalu mempertanyakan status quo, dan mendorong untuk melampauinya.
            Penyakit jiwa adalah suatu pandangan normatif. Lacan cenderung menyebutnya bukan sebagai penyakit tetapi sebagai struktur mental manusia. Mental manusia memiliki dua ekstrim, yakni bahasa dan alam bawah sadar. Ketika ia memasuki alam bawah sadar maka ia menolak aturan bahasa (instinct drive). Sebaliknya, ketika ia merasuk ke (aturan) bahasa, maka ia harus merepresi alam bawah sadarnya (libido – Freud, hasrat – Lacan). Maka dari itu, Lacan meyakini bahwa tidak ada manusia yang ‘normal’ atau ‘sehat’ secara mental. Mereka selalu hidup dalam tekanan berbagai macam simbolisasi yang memenjarakannya. Subjek yang berhasil merepresi dirinya, atau dengan kata lain sanggup mengikuti aturan dan norma, yang seringkali disebut normal, sebenarnya tengah mederita neurosis. Basis neurosis adalah represi.[9] (Verdrängung). Subjek neurosis menggunakan mekanisme represi dalam dirinya ketika berhadapan dengan nom du père (name-of-the father atau symbolic order). Ia merepresi dorongan alam bawah sadar atau insting demi mengikuti aturan rantai penanda atau norma di masyarakat. Gejala neurosis terletak di kepala, yang menghasilkan fenomena histeria. Sebaliknya subjek yang gagal merepresi dirinya, dipahami sebagai penderita psikosis. Mekanisme dalam psikosis adalah foreclosure[10] (Verwofen). Istilah ini jika dijelaskan cukup rumit, jika disederhanakan ia merupakan penyangkalan terhadap nom du père. Seorang psikosis biasanya mewujud dalam fenomena paranoia, melihat bayangan dalam dunia the real dan mengalami delusi. Kemungkinan lain adalah perversi, dengan mekanisme diri yang disebut dengan disavowal (Verleugnung), yang berarti penyangkalan lack, dan menganggap dirinya utuh melalui tatanan simbolik, ia berfantasi terhadap other[11] atau tatanan simbolik. Setiap subjek, tak bisa dihindari, akan mengalami ketiga macam proses kejiwaan ini ketika berhadapan dengan tatanan simbolik di luar dirinya.
            Jika melihat tokoh Siti sebagai seorang perempuan yang bekerja demi menghidupi anak, mertua dan suaminya yang lumpuh, ditambah lagi dengan beban hutang suaminya yang harus dibayar, ia jelas hidup dengan penuh tekanan. Namun sayangnya, yang membedakannya dengan Medea adalah, ia tidak bisa keluar dari tekanan itu. Tekanan di sini dimaknai secara simbolik, yakni tatanan relasi, atau rantai penanda, antara lain ibu dan anak, suami dan istri, menantu dan mertua, perselingkuhan atau kesetiaan. Siti memang mampu untuk keluar dari simbolik suami dan istri, yang mensyaratkan monogami dan kesetiaan, dengan berhubungan dengan laki-laki lain, seorang polisi bernama mas Gatot, tapi kemudian ia harus kembali lagi dengan keluarganya, merawat suaminya dan bekerja seperti biasa. Siti menjalani hidupnya dalam logika having, memiliki suami, mempunyai anak dan mertua, apapun yang dilakukannya adalah demi mereka sebagai harta berharga miliknya. Perempuan dalam logika having disebut dengan femme à postiche[12] (perempuan palsu), kontra dengan une vraie femme (perempuan real). Siti merepresi dirinya mengikuti logika having dan tatanan simbolik. Dalam hal ini, ia mengalami neurosis. Terlihat di akhir film, ia mengalami histeria, keluar dari rumahnya, pergi ke pantai dan menjerit.
            Etika psikoanalisis dalam bayangan pikiran normatif nampak seperti dorongan untuk melakukan tindakan asusila, melanggar hukum, aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Etika psikoanalisis persis kebalikan dari moral Kantian, yang mendasarkan pada rasionalitas. Pertanyaan yang barangkali muncul, terkait dengan tokoh Siti, adalah apakah Siti harus membunuh suaminya yang lumpuh untuk melampaui simbolik istri? apakah ia juga harus menterlantarkan anaknya demi melampaui simbolik ibu? serta meninggalkan mertuanya untuk melampaui simbolik menantu? Akhir cerita juga dibiarkan terbuka, Siti keluar meninggalkan mereka, namun ia masih histeria. Nampak bahwa ia belum bisa melampaui segala simbolisasi yang merepresi dirinya. Etika psikoanalisis sebenarnya mengajarkan bahwa kita harus menyadari bahwa ketika kita masuk dalam ruang norma dan logika having, maka konsekuensinya adalah kita akan kehilangan, ditinggalkan atau dikhianati. Seperti cerita King Lear dan Oedipus yang masuk dalam dunia simbolik dan pada akhirnya mengalami kesendirian dan pengkhianatan.[13]. Lalu bagaimana mengatasi penderitaan itu semua, atau keluar dari sirkuit jahanam tersebut. Etika psikoanalisa mengajarkan sesuatu yang disebut dengan sublimasi. Sublimasi adalah proses pemenuhan hasrat melalui tindakan produktif non-seksual, seperti karya artistik dan intelektual. Pelampauan atas dunia simbolik tidak dianjurkan dengan melanggar hukum, kriminal atau berbuat asusila. Sublimasi adalah proses yang berhubunan dengan objek libido.[14] Objek libido bukanlah penanda dalam tatanan simbolik, tetapi ia berasal dari creation ex-nihilo[15] (penciptaan sesuatu yang belum ada sebelumnya). Contoh yang cukup menarik dari Lacan adalah tentang seoang sastrawan Irlandia bernama James Joyce. James Joyce adalah seorang psikosis yang berhasil mengatasi psikosisnya. (Namun nampakanya jika dijelaskan akan menjadi panjang lebar, jadi lebih baik dicukupkan samapi di sini).
Sebenarnya masih banyak pembahasan perihal etika psikoanalisa, tetapi mungkin di lain kesempatan saya akan membahasanya. Sementara ini, tujuan saya adalah mengeluarkan psikoanalisis dari cap yang negatif, perihal seksualitas, insting, libido maupun hasrat yang secara normatif seringkali tabu dibicarakan, karena stereotip buruknya. Psikoanalisis sebenarnya mendorong manusia untuk kreatif, selalu reflektif dengan tradisi, dan mencapai pembebasannya dengan mencipta.   


[1] Euripides, (1906),  Medea of Euripides, translated with explanatory notes by Gilbert Murray, (New York:Oxford University Press American Branch), hlm 31
[2] Slavoj Žižek, (2000), The Fragile Absolute, or Why is the Christian Legacy worth fighting for?, (London / New York: Verso), hlm. 149.
[3] The real is absolutely without fissure. Jacques Lacan, (1991), The Seminar Book II: The Ego in Freud’s Theory (1954-1955) diterjemahkan oleh Sylvana Tomasseli (New York: W.W. Norton & Co.), hlm. 97.
[4] . Jacques Lacan, ibid, hlm. 44.
[5] Robertus Robert, (2013), “Subyek atau Mengapa Perempuan Tidak Eksis: Provokasi Lacan tentang Seksuasi dan Tindakan Etis” dalam Handayani dkk., (2013) Subjek yang Dikekang, (Jakarta:Komunitas Salihara), hlm 59.
[6] Jacques-Alain Miller, “On Semblances in the Relation between Sexes” dalam Renata Salecl, ed., Sexuation (Durham dan London: Duke University Press, 2000), hlm 20.
[7] Ibid.
[8] Euripides, ibid, hlm. 22
[9] Jacques Lacan, The Seminar of Jacques Lacan Book III: The Psychoses 1955-1965, edited by Jacques-Alain Miller, translated with notes by Russell Grigg, (New York:W.W. Norton, 1993) hlm.84.
[10] Ibid, hlm 321.
[11] Jacques Lacan, Écrit:A selection, translated by Alan Sheridan, with a foreword by Malcolm Bowie, (London:Routledge), hlm 246.
[12] Jacques-Alain Miller, ibid, hlm. 21-22
[13] Jacques Lacan, The seminar of Jacques Lacan, Book VII: The Ethics of Psychoanalysis 1959-1960, Translated with notes by Dennis porter W., edited by Jacques-Alain Miller, (New York: W.W. Norton Company, 1992), hlm 305
[14] Jacques Lacan, 1992, hlm 95.
[15] Ibid, hlm. 121.
Read More
  • Share This:  
  •  Facebook
  •  Twitter
  •  Google+
  •  Stumble
  •  Digg
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

Label

  • Buku Politik
  • Buku Sosial
  • Cerpen
  • Diskusi
  • Esai
  • Puisi
  • Seri Kuliah Budaya
  • Seri Kuliah Sosial

Popular Posts

  • Jacques Lacan - Psikoanalisa
    Kuliah Umum : Jacques Lacan dalam Pascastrukturalisme, oleh St. Sunardi. Diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM. Didokumentasikan ...
  • Friedrich Nietzsche - Nihilisme
    Kuliah Umum – Friedrich Nietzsche oleh Romo Setyo Wibowo, tanggal 28-29 April 2015. Diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM. Didok...
  • Hasil Penelitian LPRIS = Blandongan : Perebutan Kuasa Budaya Masyarakat Jawa dan Madura.
    Blandongan : Perebutan Kuasa Budaya Masyarakat Jawa dan Madura, oleh Yongky Gigih Prasisko. Penerbit LPRIS, tahun 2015. CP Pemesanan b...
  • Program Kerja
    LPRIS memiliki program kerja yang dilakukan baik secara periodik maupun insidental, antara lain: Melakukan penelitian, kajian da...
  • Budi Irawanto - Teori Film
    Seri kuliah teori : Teori Film oleh Budi Irawanto. Selasa 31 Maret 2015. Diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Ma...
  • Sinopsis Film Bercermin
    Permata tak ingin menjadi dewasa. Semakin bertambah usianya, membuatnya semakin terasing dan terpenjara. Tetapi mau tidak mau, ia tak...
  • Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (Buku Pertama) – John Perkins
    Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (Buku Pertama) – John Perkins https://drive.google.com/file/d/0Byu9yVab99m1U1RjS2oyR2J1RWs/view?usp=sha...
  • Medea dan Siti : Potret Perempuan Real dan Palsu
                                                                                                                          Oleh Yongky ...
  • Visi dan Misi
    Visi       : Menjadi sebuah lembaga yang dipercaya masyarakat dalam mengusahakan toleransi     keberagaman dalam kesatuan integrasi. ...
  • PAMERAN BUKU INTERNASIONAL
    dimuat di Sindo Jabar, 26 Oktober 2015 Oleh: Anindita S. Thayf Apa yang ditemukan Zarathustra setelah berkata, "Tuhan telah mati...

Blog Archive

  • ▼  2015 (29)
    • ▼  Desember (4)
      • Traumatis
      • Sinopsis Film Bercermin
      • Jurnalisme dan Media Baru
      • Medea dan Siti : Potret Perempuan Real dan Palsu
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (23)

Mengenai Saya

Foto saya
Elpris
Lihat profil lengkapku
LPRIS. Diberdayakan oleh Blogger.

Lembaga Penelitian Rekonsiliasi dan Integrasi Sosial


Copyright © LPRIS | Powered by Blogger
Design by Hardeep Asrani | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Distributed By Gooyaabi Templates